BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perlu kita renungkan, mengapa Islam banyak
berbicara tentang pernikahan, mulai dari syarat dan prosesi pernikahan itu
sendiri. Hal ini karena Islam sendiri sebagai agama yang rasional menganggap
bahwa nikah adalah fitroh (naluri ) manusia. Setiap manuia normal pasti
mendambakanya. Dan Islam sebagai yang kita kenal tidak ingin merusak apalagi
memperkosa gharizah (fitrah/naluri) manusia. Hanya saja hubungan antara pria
dan wanita ini jika tidak diatur, tidak ubahnya bagai binatang, bahkan
akibatnya lebih memprihatinkan; maka Islam mengaturnya dengan pernikahan.
Dalam Islam ada fase yang harus di jalankan
oleh seseorang yang akan menikah/melangsungkan pernikahan, fase itu adalah
peminangan (khitbah). Tentu saja dalam hal ini khitbah mempunyai perbedaan yang
sangat mendasar dengan istilah tunangan atau perbedaan pendapat para ulama'
madzhab tentang hukum dan cara peminangan (khitbah).
B.
RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah, maka
perumusan masalah penelitian dapat dijabarkan dalam bentuk pernyataan dasar
sebagai berikut :
1.
Apa pengertian peminangan (khitbah) ?
2.
Bagaimana cara peminangan (khitbah)?
3.
Bagaimana hokum peminangan menurut ulama madhab
?
4.
Bagaimana para ulama' madzhab memberikan
pendapatnya perihal melihat wanita demi kepentingan peminangan (khitbah)
diatas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga,
diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan
seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i
ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada
akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah
adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya
(Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam
MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan
keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu
perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq
(ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah
seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi
dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan
memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy,
2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan
yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian
yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu
dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang
belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin
‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari
menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim
Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab
”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu
saya nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya
merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda
karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian
Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung
untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini
menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya
tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur
atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini. Selain itu, seorang
wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi
suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56).
Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada
Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan
diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan
menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan
keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami
bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat
kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah
tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui
perwakilan pihak lain.
B. Hukum
Peminangan (Khitbah) Menurut Ulama' Madzhab
Mengenai khitbah nikah yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, maka jumhur fuqoha’ mengatakan bahwa hal itu tidak wajib,
sedang Daud Ad-Dhoriri berpendapat bahwa hal itu tetap wajib.
Silang pendapat ini disebabkan, apakah pebuatan
Nabi SAW, yang berkenaan dengan hal itu diartikan wajib ataukah sunnah.
Selanjutnya hukum melihat wanita waktu
peminangan, dalam hal ini ulama; madzhab juga ada silang pendapat, imam malik
berpendapat bahwa yang boleh dilihat pada waktu khitbah adalah bagian wajah dan
kedua telapak tangan. Sedangkan fuqoha’ yang lain membolehkan melihat seluruh
bagian tubuh kecuali dua kemaluan, sementara fuqoha’ yang lain melarang melihat
sama sekali.
Sedang imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua
telapak kaki, muka dan kedua telapak tangan.
Silang pendapat ini disebabkan karena dalam
masalah ini terdapat suruhan khitbah nisa’ secara mutlak, terdapat pula
larangan secara mutlak dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada
muka dan telapak tangan, firman Allah :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها ( النور : 31)
Artinya : “Dan janganlah mereka (kaum
wanita)menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa Nampak padanya (Q.S. An-Nuur
: 31 )
Yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa
Nampak adalah muka dan kedua dua telapak tangan. Di samping itu juga diqiyaskan
dengan kebolehan membuka muka dan dua telapak tangan pada waktu berhaji, bagi
kebanyakan fuqoha’.
Akan halnya fuqoha’ yang melarang melihat sama
sekali, maka mereka berpegang dengan aturan pokok, yaitu larangan melihat
wanita.
C. Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan
tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah
dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun
dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada
keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu
difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:
a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa
sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita
yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir
menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika salah
seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat
sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah
ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah
ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan
lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah
kekhususan pada saat mengkhithbah. Sebagian ulama lagi membolehkan untuk
melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena
wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat
sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang
dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih
Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang
akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah
khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i
lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini
didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang
lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang
(seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu)
sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw
bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita
yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu
Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun
Menolak Khithbah An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita
telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon
suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan
mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh
dihalang-halangi untuk menikah.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:
Seorang janda lebih berhak atas dirinya
daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya
adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits
Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak
dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi
kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan
dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak
dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna.
Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad
pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan
cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda
adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap
lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar
cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang
mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan
merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi.
Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk
meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan
laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh
melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas.
Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah
pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya
hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati.
Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya
adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya. Kendati
demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling
melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian
masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena,
khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu
sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah
Saw bersabda:
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya
kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan
kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS.
Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur
[24]:30-31)
D. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu
antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan
(akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69) Bagi seorang ikhwan yang telah
mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga
ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi
pada masa Rasulullah Saw yaitu antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim
Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara
langsung kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu
itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman
Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang
pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1
hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja
berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan
kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai
fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya
seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari
seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan
harta dunia (HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila
segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain
juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*]
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum
kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian
telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah
Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari
tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak
menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu
antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan
kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah
yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah
mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya
pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan
pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling
menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam
rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk
terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada
seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus
mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara
keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka
hendaklah ia shaum karena sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang
tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan
berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan
atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang
relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai
dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena
pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa
alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
DAFTAR PUSTAKA
ü An-Nabhani, Taqiyudin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab
Mutabanat Hizbut Tahrir. Bogor: PTI
ü Januar, Iwan. 2005. Bulan Madu Sepanjang Hari. Booklet. Bogor:
Al-Azhar Press
ü Kurnia, MR. 2005. Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga.
Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
ü ………………..2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
ü Ramdhan, Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun
Keluarga Bahagia..Bogor: Ide Pustaka
ü Thalib, Muhammad,Drs. 2002. 15 Tutuntunan Meminang Dalam Islam.
Bandung: Irsyad Baitussalam